Kamis, 26 Juni 2014

Tanam Paksa 1830


 
 

Tanam paksa atau cultuur stelsel merupakan peraturan yang diterapkan oleh Gubernur Jenderal Johannes Van Den Bosch yang mewajibkan setiap desa harus menyisihkan sebagian tanahnya yaitu kurang lebih 20% untuk ditanami komoditas ekspor khususnya kopi, tebu dan nila.  Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah ditentukan dan hasil panennya diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak. Akan tetapi dalam praktiknya peraturan tersebut tidak diterapkan dengan sesungguhnya, karena seluruh wilayah pertanian wajib ditanami tanaman yang laku untuk diekspor. Wilayah yang digunakan untuk praktik cultuur sltelsel pun tetap dikenakan pajak dan warga yang tidak memiliki lahan pertanian wajib bekerja selama setahun penuh dilahan pertanian.
Tanam paksa merupakan era paling eksploitatif dalam praktek ekonomi Hindia Belanda. Sistem tanam paksa lebih kejam daripada sistem monopoli yang diterapkan oleh VOC, hal ini karena dalam sistem tanam paksa sudah menentukan sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani pada zaman VOC wajib menjual komoditi tertentu, tapi pada masa tanam paksa petani harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan oleh pemerintah. Aset tanam paksa ini lah yang memberikan sumbangan besar bagi modal pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia-Belanda pada 1835 hingga 1940. Akibat sistem yang memakmurkan dan mensejahterahkan negeri Belanda ini, Van Den Bosch selaku penggagas dianugerahi gelar Graaf oleh raja Belanda pada 25 Desember 1839.
Menurut Van Den Bosch, cultuur stelsel didasarkan atas hukum adat yang menyatakan bahwa barang siapa yang berkuasa di suatu daerah maka ia memiliki tanah dan penduduknya. Sebelum kedatangan belanda, raja-raja di nusantara berkuasa atas kepemilikan tanahnya dan penduduknya. Akan tetapi karena raja-raja sudah takluk kepada belanda maka pemerintah belanda menganggap dia mengganti raja-raja tersebut oleh karena itu penduduk harus menyerahkan hasil dari tanahnya kepada pemerintah Belanda.
Gubernur Jenderal Van Den Bosch mulai memegang kekuasaan di Indonesia sejak tahun 1830, ia menyadari keadaan Jawa yang masih feodal. Orang-orang Eropa tidak akan memperoleh apapun jika mereka tidak menggunakan organisasi desa. Van Den Bosch dalam usahanya, ia menggunakan desa di Jawa sebagai produsen tanaman ekspor dan hal ini merupakan inti dari cultuur stelsel. Rakyat dipaksa untuk menanam tanaman-tanaman ekspor yang dikehendaki oleh pemerintah kolonial dan dipinmpin oleh kepala pribumi yang berada dibawah pengawasan pegawai-pegawai Eropa.
Pelaksanaan tanam paksa merupakan usaha dari pemerintah Hindia Belanda untuk memperbaiki keuangan Hindia Belanda dan mengisi kekosongan kas negara. Usaha tersebut sebenarnya sudah dimulai sejak masa pemerintahan Van Der Capellen 1819-1825. Kegagalan Van Der Capellen menyebabkan jatuhnya kaum liberal sehingga menyebabkan golongan konservatif mendominasi pemerintahan. Selain itu Belanda pada masa itu mendapat hambatan perdagangan karena adanya persaingan dagang dengan Inggris, apalagi setelah Inggris menduduki Singapura pada tahun 1819 yang menyebabkan peranan Batavia dalam perdagangan Asia Tenggara semakin kecil. Di Indonesia sendiri, keadaan perekonomian Belanda semakin diperparah dengan jatuhnya harga kopi di Eropa, padahal kopi pada masa itu merupakan produk ekspor andalan pendapatan utama bagi belanda. Selain itu belanda juga mendapat perlawanan dari Indonesia yaitu terjadi Perang Diponegoro pada tahun1825 sampai 1830 yang merupakan perang termahal bagi Belanda dalam menghadapi perlawanan dari pihak pribumi. Selain itu di negara Belanda sendiri terjadi Perang Belgia pada tahun 1830. Perang ini berakhir dengan kemerdekaan Belgia atau Belgia memissahkan diri dari Belanda. Hal –hal tersebut menyebabkan keruntuhan keuangan Belanda.
Dalam usahanya menyelamatkan keuangan negara dari kebangkrutan, pemerintah Belanda mengangkat Johannes Van Den Bosch sebagai Gubernur Jenderal di Indonesia dengan dibebani tugas pokok untuk menggali dana semaksimal mungkin untuk mengisi kekosongan kas negara, membayar hutang dan membiayai perang. Untuk melaksanakan tugas tersebut Van Den Bosch memusatkan kebijakannya pada peningkatan produksi tanaman ekspor. Oleh karena itu yang perlu dilakukan adalah mengerahkan tenaga rakyat untuk melakukan penanaman tanaman yang laku di pasaran ekspor dunia secara paksa. Gubernur Van Den Bosch menerapkan kebijakan politik dan ekonomi konservatif di Indonesia. Kebijakan yang dilakukan Van Den Bosch tersebut ialah cultuur stelsel atau dalam bahasa Inggris cultivation system atau yang lebih kita kenal tanam paksa. Kita menyebut tanam paksa karena sistem tanam tersebut dalam praktiknya rakyat dipaksa untuk bekerja dan menanam tanaman wajib tanpa mendapat imbalan. Tanaman wajib adalah tanaman komoditas ekspor seperti kopi, teh, lada, kina, nila dan tembakau. Akibat sistem tanam paksa, pasokan padi mulai tak mencukupi bagi seluruh rakyat Indonesia, hal ini karena banyak lahan yang digunakan untuk menanam komoditi ekspor yang menguntungkan bangsa belanda, sehingga akibatnya kelaparan mulai menyebar luas di Nusantara.
Banyaknya kemiskinan dan kelaparan yang melanda rakyat Jawa ternyata menarik simpati beberapa orang Belanda. Mereka menentang bahkan mendesak pemerintah Belanda untuk segera menghapuskan sistem tanam paksa tersebut. Mereka menghendaki agar tanam paksa dihapuskan berdasarkan peri kemanusiaan, mereka merasa iba dengan kesengsaraan yang dialami rakyat Indonesia selain itu mereka juga mendapat ilham dari ajaran agama. Tokoh belanda yang menentang pelaksanaan sistem tanam paksa di Indonesia, antara lain:
W.R Van Hoevell adalah seorang pendeta gereja yang diusir dari Hindia kerena mengkritik pemerintahan, menuntut keadilan dalam urusan pemerintahan dengan orang pribumi. Dia melakukan pidato-pidato yang terus menuntut perbaikan bagi masyarakat di tanah jajahan. Semula Baron Van Hoevell tinggal di Batavia kemudian ia pulang ke Belanda dan menjadi anggota parlemen. Selama ia tinggal di Indonesia, ia menyaksikan penderitaan bangsa Indonesia akibat sistem tanam paksa. Baron van hoevell bersama Fransen Van De Putte menentang sistem tanam paksa. Isaac Fransen Van De Putte, dahulunya dia adalah seorang pegawai di pabrik penyulingan gula besar di Jawa, ia juga pernah menjadi perwira armada laut pedagang Belanda. Tahun 1863 dia diminta untuk bergabung dengan partai liberal sampai akhirnya dia diangkat sebagai menteri kolonial. Ia menulis buku berjudul suiker contracted (kontrak-kontrak gula). Dalam pemerintahan Belanda, ia mengusulkan untuk menghapus semua usaha pertanian pemerintah kecuali kultur gula dan kopi, untuk menghentikan semua monopoli dan untuk memperkenalkan suatu kebijakan perdagangan yang baru yang didasarkan pada perdagangan bebas. Kedua tokoh ini juga berjuang keras menghapuskan sistem tanam paksa melalui parlemen Belanda.
Selain kedua tokoh tersebut ada juga orang Belanda yang menentang tanam paksa yaitu Eduard Douwes Dekker. Ia menggebrak dunia dengan karyanya yang berjudul max havelar. Douwes Dekker adalah pejabat administrative yaitu asisten residen di lebak Banten. Dengan nama samaran Multatuli yang dalam bahasa Belanda berarti aku telah banyak menderita, ia menulis buku yang berjudul max havelar atau lelang kopi persekutuan dagang Belanda, yang menggambarkan penderitaan rakyat akibat tanam paksa dalam kisah Saijah dan Adinda. Buku tersebut membuka mata kaum liberal Belanda bahwa tanam paksa sangat membawa penderitaan bagi kaum pribumi.
Selain tokoh-tokoh tersebut masih ada beberapa orang Belanda yang menentang tanam paksa. P. Markus adalah salah seorang anggota A Market Van Indie yang mengusulkan penghapusan tanam paksa karena menimbulkan penderitaan dan pelanggaran hak kebebasan. Seorang inspektur pertanian Belanda, Vitalis, juga mengusulkan agar tanam paksa dihapus karena merugikan pertanian rakyat. Selain itu W. Boch seorang pegawai dinas kesehatan Belanda mengatakan bahwa tanam paksa menimbulkan kemiskinan rakyat sehingga sebaiknya dihapus.
Dalam praktiknya sistem tanam paksa sangat merugikan kaum petani Jawa. Pada masa itu dibawah sistem kolonial pulau Jawa dibagi dalam beberapa karesidenan yang dipimpin oleh seorang residen, kemudian setiap karesidenan dibagi dalam beberapa afdeling dipimpin oleh asisten residen. Dibawahnya ada distrik-distrik atau kawedanan yang dipimpin oleh seorang wedana dan sekelompok kecil pengawas. Pada tingkat afdeling atau asisten residen terjadi tumpang tindih dengan wilayah kerja bupati yaitu seorang pangeran atau penguasa pribumi yang berada dipuncak tatanan sosial dan politik lokal. Oleh Belanda para bupati ini disebut sebagai regent.
Pemerintahan Hindia Belanda yang mempergunakan para bupati Jawa yang mereka sebut regent yang bertugas seperti para opsir Tionghoa untuk berhubungan dengan kepala desa yang bertugas memungut pajak yang berupa hasil tanam paksa tersebut memberi insentif berupa tanda jasa dan komisi agar diperoleh hasil yang lebih intensif. Demikian juga para pembesar dan administrtur Belanda memperoleh fasilitas yang sama yang mengakibatkan mereka dalam menilai suatu daerah dan menentukan besarnya pajak berupa komoditi yang harus disetor, bersifat sewenag-wenang dan sangat merugikan para petani.
Menurut Fromberg cultuur stelsel tidak akan pernah berhasil tanpa bantuan para bupati yang dengan sistem baru ini kekuasaannya bertambah besar. Agar mendapat bantuan yang efektif dari para bupati itu pemerintah memberi hadiah tanah kepada mereka dan menjadikan jabatannya turun menurun. Selain itu menurut Fromberg “agar dapat menindas pegawai rendahan dan penduduk para bupati dinaikkan pangkatnya menjadi pangeran feodal”. Namun sebaliknya para bupati tersebut harus melaksanakan perintah residen yaitu pegawai Belanda yang kedudukannya tertinggi dalam suatu wilayah kekuasaan Belanda. Penduduk harus patuh seperti budak belian dan para kepala desa dijadikan alat para bupati dan kepala distrik yang berada dibawah kekuasaan bupati.
Para bupati dalam periode tanam paksa kembali memiliki kesempatan untuk menindas rakyatnya melalui kekuasaan. Gaji mereka yang tidak cukup untuk memenuhi gaya hidupnya memaksa mereka untuk menambah penghasilan melalui cara-cara yang tidak jujur. Vitalis menganggap para bupati ini sebagai “momok penindas”. Walaupun demikian sistem tanam paksa itu tidak memberikan kembali kebebasan untuk memerintah dari bupati. Pelaksanaan tanam paksa yang pada dasarnya dilaksanakan oleh para asisten residen dan kontrolir-kontrolir yang semakin mempengaruhi kehidupan desa, dan dengan sendirinya merugikan kekuasaan para bupati.
Sistem tanam paksa mewajibkan para petani di Jawa untuk menanam-tanaman dagang untuk diekspor ke pasaran dunia. Jenis tanaman tersebut dipisahkan menjadi dua kategori yaitu Tanaman Tahunan ( tebu, nila dan tembakau) dan Tanaman Keras ( kopi, teh, lada, kina dan kayu manis). Jenis tanaman yang sangat dipentingkan ialah kopi, tebu dan nila. Penanaman lada pada tahun 1840 mencapai 42.800 bahu (sebahu yaitu 0.7 ha). Daerah pertama yang menjadi tempat penanaman nila adalah di Parahyangan. Kemudian Cirebon juga sebagai tempat untuk menanam nila. Tanah-tanah menjadi kering akibat sebagai tempat untuk menanam nila, sehingga menurut mereka lebih baik untuk menanam tebu. Pada tahun 1839 tanah yang ditanami tebu sebanyak 27.000 bahu. Pada tahun 1842 telah naik menjadi 37.000 bahu. Pada tahun 1850 dihasilkan 1.400.000 pikul. Milik pemerintah Belanda 1.000.000 pikul seharga f 10.000.000 selebihnya dihasilkan ditanah-tanah partikulir dan di Surakarta serta Yogyakarta. Kopi makin banyak laku di Eropa sehingga daerah penanaman kopi semakin diperluas. Dalam musim 1834-1835 ditanam 25.600.000 pohon kopi diseluruh Jawa dan dalam musim 1835-1836 ditanam 29.200.000. Pohon-pohon ini ditanam oleh petani Indonesia dengan tidak memperoleh bayaran dan mereka juga diwajibkan untuk memeliharanya. Hasilnya produksi tersebut jauh dari target karena kekurangan tenaga. Semenjak tahun 1840 dihasilkan lebih kurang 1.000.000 pikul kopi dalam setahun.
Selain menanam tanaman wajib seperti kopi, tebu dan nila, pemerintah kolonial juga mewajibkan petani menanam teh. Hasil keuntungan menanam teh pada masa itu tidak seberapa keutungan yang didapak pemerintah kolonial. Pada tahun 1839 ada 8.000.000 rumupun teh yang ditanam di Indonesia. Enam tahun kemudian ada 20.000.000 rumpun. Hasl yang diperoleh sebanyak 900.000 pound. Hasil dari cochenille (bahan warna merah dari semacam serangga) tidak lebih dari 81.00 pound ditahun 1850, kayu manis yang pada mulanya hanya ditanam di Karawang, juga ditanam di daerah-daerah lain. Pada tahun 1840 ada 1.700.000 pohon dan yang mengerjakannya sebanyak 7000 keluarga dan pada tahun 1850 ditanam oleh 10.000 keluarga. Mereka menghasilkan 200.000 pound. Penanaman tembakau dimulai di Rembang, Kedu, Pasuruan, dan Banyuwangi. Jumlah kebun tembakau menjadi 37, luasnya 4000 bahu dan keluarga yang bekerja di situ sebanyak 37.000 keluarga. Keuntungan Belanda yang terbesar dengan sistem cultuur stelsel adalah komoditas kopi selanjutnya gula dan nila.
Pada tahun 1848 sistem tanam paksa mendapat kritikan melalui perdebatan diparlemen Belanda. Perdebatan terjadi antara golongan liberal dengan golongan konservatif seputar evaluasi penerapan sistem tanam paksa di Hindia Belanda. Kaum liberal berkeyakinan bahwa tanah jajahan akan memberikan keuntungan kepada negeri induk apabila masalah-masalah perekonomian diserahkan kepada pihak swasta. Berbeda dengan kaum liberal, kaum konservatif tetap berkeyakinan bahwa tanah jajahan akan memberikan keuntungan kepada negeri induk apabila urusan ekonomi ditangani langsung oleh pemerintah. Menurut kaum liberal  Baron Van Hoevell, kaum konservatif Hindia Belanda dianggap belum siap untuk menerima kebijakan politik liberal dan juga menurutnya tanam paksa tidak sesuai dengan kebijakan ekonomi liberal. Baron Van Hoevell mendesak Tweede Kamer (DPR Belanda) agar mengeluarkan UU penghapusan sistem cultuur stelsel di Nusantara. Dalam tahun 1860an desakan tersebut semakin menguat setelah pemerintahan konservatif yang mendukung cultuur stelsel itu jatuh pada tahun 1862, maka mulailah perubahan-perubahan yang mendasar hingga menjelang abad ke 20 seluruh sistem itu lenyap dan digantikan oleh sistem politik etis. Ia secara terang-terangan mengutuk peraturan tanam paksa. Sebagai bekas pendeta, ia berani menggambarkan penderitaan rakyat Indonesia.
Tanam paksa bukan hanya membawa dampak negatif bagi petani-petani Jawa, akan tetapi sistem tanam paksa tersebut juga membawa dampak positif atau keuntungan bagi petani Jawa. Keuntungan-keuntungan tersebut antara lain: Di daerah Jawa Timur di bagian timur kebanyakan daerah tersebut mengalami tanam paksa secara intensif sehingga hal ini menunjukkan bahwa para petani banyak mendapat manfaat material dari sistem tanam paksa tersebut. Di karesidenan Pasuruhan misalnya berdasarkan laporan dari residen menyebutkan bahwa terjadi peningkatan perdagangan lokal, peningkatan peredaran mata uang, laba besar diperoleh dari budidaya yang dipaksakan, meluasnya kesempatan kerja, penyempurnaan sarana perumahan dan sandang, masuknya pajak secara penuh dan dalam waktu singkat serta adanya aneka indikator munculnya wiraswasta pribumi. Di daerah Besuki juga terjadi kemakmuran karena uang yang beredar dalam jumlah yang banyak tidak seperti biasanya. Selain itu di Surabaya pun juga terjadi kemakmuran. Ketiga daerah tersebut memang mendapat perlakuan yang berbeda dengan daerah dijawa yang lain dibawah sistem tanam paksa.
Di Jawa Tengah bagian Selatan seperti Kedu, Bagelen, Kediri dan Madiun beberapa laporan menunnjukkan adanya peningkatan ekonomi serta kesejahteraan. Di daerah karesidenan Cirebon dan dan Semarang pun juga mengalami kemakmuran. Laporan-laporan para residen Jawa antara 1858-1868 pada umumnya menjelaskan adanya peningkatan kemakmuran penduduk.
Selain itu keuntungan lain bagi petani Jawa dari adanya sistem tanam paksa yaitu petani Jawa menjadi mengenal komoditas-komoditas pertanian yang laku untuk di ekspor serta mengetahui bagaimana teknik yang baik untuk menanam tanaman tersebut yang merupakan tanaman baru bagi petani Jawa.




Daftar Pustaka
Bachri, Saiful. 2005. Sejarah Perekonomian. Surakarta Lpp Dan Uns Press: Uns.
Marwati Djoened Poesponegoro Dan Notosusanto Nugroho.2009.Sejarah Nasional Indonesia: Kemunculan Penjajahan Di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Jurnal. Zulkarnain. Serba Serbi Tanam Paksa. Diakses Pada 5 Desember 2013.

1 komentar:

  1. Free Baccarat | A Beginner's Guide to Baccarat - Free
    The number of bets choegocasino can vary deccasino from one round to two. For instance, a febcasino $1 bet is a $2 bet, meaning that you'll receive $20 on your favorite casino table. You can

    BalasHapus